Saya percaya Indonesia tidak hanya dibangun oleh impian besar, tetapi juga tauladan dan tindakan para pendirinya. Tauladan dan tindakan itu pertama-tama adalah bagaimana mengubah pola pikir yang dimiliki oleh para pendirinya. Dan perubahan pola pikir ini hanya mungkin jika ada kebiasaan membaca, berdiskusi, dan menulis. Dan dengan tiga unsur itulah budaya baca dibangun.
Di tengah gemuruh dunia digital, selalu saja muncul pertanyaan tentang posisi buku. Apakah buku masih diperlukan? Bukankah buku sudah berubah wujud dari lembaran kertas menjadi format digital dalam bentuk e-book? Bahkan, pertanyaan itu terkadang melebar sampai pada posisi dunia perbukuan: apakah masih penting menerbitkan buku dan mengisi perpustakaan dengan buku kertas?
Bagi kalangan perbukuan, dunia buku sebenarnya bukan sekedar lembaran kertas. Dunia buku adalah dunia informasi. Tidak penting wujudnya berubah, selama informasi yang disajikannya dibutuhkan oleh masyarakat pembaca, maka kehadiran sebuah buku akan selalu relevan dengan zaman. Zaman boleh saja berubah, buku boleh saja berubah wujud. Namun, selama konten buku mampu menjawab kebutuhan zaman, buku tetap akan hadir di tengah masyarakat, apa pun wujudnya.
Zaman boleh saja berubah, buku boleh saja berubah wujud. Namun, selama konten buku mampu menjawab kebutuhan zaman, buku tetap akan hadir di tengah masyarakat, apa pun wujudnya.
Dalam sejarah peradaban manusia terlihat jelas bahwa kualitas sebuah peradaban sangat ditentukan oleh kemajuan atau kemunduran ilmu pengetahuan. Kalau sebuah bangsa peduli pada ilmu pengetahuan, maka peradaban bangsa itu juga akan semakin maju, dan sebaliknya bila kurang memperhatikan ilmu pengetahuan, maka peradaban bangsa itu pun akan mengalami kemunduran. Dan arterpak ilmu pengetahuan itu wujudnya dalam bentuk buku.
Tengoklah sejarah bangsa-bangsa di dunia ini, mulai dari manusia purba, era Mesopotamia, Sungai Nil, Lembah Sungai Indus, Lembang Sungai Kuning, Yunani Kuno, Pegunungan Andeas, Mesoamerika, zaman kuno, zaman Romawi, Dinasti Asia Timur, era Kejayaan Islam, Eropa dan Abad Pertengahan, zaman sejarah modern, sampai era kontemporer sekarang ini. Semua era peradaban itu dikenal karena kehebatan ilmu pengatahuan yang dimiliki manusia pendukungnya.
Perhatikan juga saat Kekhalifahan Abbasiyah berjaya, banyak lahir cendikiawan hebat. Sebut saja pakar matematika Al-Khawarizmi, filsuf kenamaan Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali, atau ahli kedokteran Ibnu Sina. Kekhalifahan ini mampu membangun peradaban hingga ke puncak kejayaan, karena kedisiplinannya pada ilmu pengetahuan. Dan perlu dicatat bahwa dasar dari ilmu pengetahuan adalah budaya membaca. Tanpa budaya baca yang baik, tak ada ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, membaca adalah akar dari sebuah peradaban.
Tengok juga kebangkitan peradaban dunia Barat. Era Renaisance dimulai dari ketekunan terhadap ilmu pengetahuan. Kegairahan akan ilmu, riset, dan segala sesuatu yang berbasis literasi menjadi titik tolak kemajuan peradaban Barat. Apalagi setelah Gutenberg menciptakan mesin cetak. Ilmu pengetahuan terdistribusi dengan baik. Perpustakaan-perpustakaan berdiri hampir di setiap kota dan setiap universitas. Kehidupan literasi masyakatnya pun jadi bergairah. Dan menjadi sangat wajar kalau Dunia Barat menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pusat kemajuan.
Perhatikan juga kasus kemerdekaan Indonesia. Untuk menjadi bangsa yang merdeka, pertama-tama yang harus dibangun adalah kesadaran tentang pentingnya menjadi bangsa yang merdeka. Dan kesadaran itu hanya mungkin lahir dari orang-orang yang melek literasi. Orang-orang yang paham bahwa ada ketidakadilan yang dialami bangsanya. Dan siapakah orang-orang itu? Mereka adalah kaum terdidik yang punya kecintaan pada ilmu pengetahuan, menyenangi aktivitas membaca, dan peduli pada nasib bangsanya.
Saya percaya Indonesia tidak hanya dibangun oleh impian besar, tetapi juga tauladan dan tindakan para pendirinya. Tauladan dan tindakan itu pertama-tama adalah bagaimana mengubah pola pikir yang dimiliki oleh para pendirinya. Dan perubahan pola pikir ini hanya mungkin jika ada kebiasaan membaca, berdiskusi, dan menulis. Dan dengan tiga unsur itulah budaya baca dibangun.
Kita semua tentu paham bahwa Para Bapak Pendiri Bangsa ini mampu keluar dari pola pikir sempit untuk hanya memikirkan dirinya sendiri. Haji Samanhudi, Tjokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, Soekarno, Hatta, Syahril, Hamka, dan H. Agus Salim, adalah beberapa contoh dari pribadi-pribadi hebat, yang berani memperjuangkan nasib bangsanya.. Mereka sangat menyadari bahwa untuk mengubah bangsanya dari keterbelakangan, maka mereka harusnya menjadi pribadi-pribadi yang berkemajuan.
Mereka telah menempa dirinya dengan sungguh-sungguh lewat pendidikan, aktivitas kebangsaanya, dan terutama kemampuan literasi yang unggul. Dan penempaan diri itu bisa jadi lewat jalan yang berliku dan tidak mudah. Jalan yang kadang-kadang justru membuat mereka diasingkan, dibuang, bahkan dipenjara. Namun, saat dipenjara dan jauh dari keluarga, mereka tetap selalu dekat dengan buku. Bagi mereka buku adalah teman setia, dan tak ada hari tanpa aktivitas membaca dan menulis. Itulah sebabnya, sekarang ini kita mengenal pikiran, gagasan, dan pengalaman mereka saat membangun Republik ini. Para pendiri Bangsa ini sadar bahwa satu-satunya jalan untuk membebaskan keterbelakangan bangsanya adalah lahirnya kaum intektual yang tidak hanya pandai tetapi peduli pada bangsanya. Kaum intektual yang berpihak pada kemajuan bangsanya.
Dengan konteks itu, jika bangsa ini hendak meraih kejayaannya, maka suka tidak suka kita harus memperkuat kemampuan literasi setiap anak bangsa.. Tanpa kemampuan literasi yang baik, tidak akan lahir indidividu-individu hebat. Sebagai pegiat perbukuan saya sadar betul, bahwa perlu ada sinergi yang kuat dari semua elemen bangsa untuk meningkatkan budaya baca ini.
Pertanyaannya apa itu literasi? National Institute for Literacy mendefinisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Membaca memang akar dari literasi. Tanpa membaca, kita tergagap-gagap memahami dunia. Sayangnya hanya ada 1 dari 1.000 orang Indonesia yang membaca buku secara rutin. Ini pekerjaan rumah yang cukup besar bagi sebuah bangsa dengan jumlah penduduk sekitar 280 juta. Dan hebohnya hoax adalah bukti umat ini tidak punya kemampuan saring sebelum sharing. Bukti pendeknya pikiran dan dangkalnya pemahaman.
Lantas apa yang bisa kita perbuat? Apakah kita sebagai bangsa masih perlu mengejar ketinggalan dari umat lain? Sepertinya jargon itu sudah kehilangan ruhnya. Sebab, secepat-cepatnya kita mengejar, bangsa lain akan selalu di depan. Bangsa ini tidaklah diam. Kita jadinya sibuk mengejar mimpi bangsa lain. Dan kita akan ngos-ngosan mengejar di belakangnya. Kita tetap akan menjadi follower, tanpa pernah menjadi leader.
Untuk menjadi leader, bangsa ini ini harusnya punya impian hebat atau punya musuh bersama. Sebab, itulah yang akan mampu menyatukan semua potensi bangsa ini. Kalau impian hebat belum punya, sejatinya kita perlu menciptakan musuh bersama. Dan siapa musuh bersama itu? Sepertinya kedangkalan kemampuan literasi bangsa ini layak dijadikan musuh bersama. Sebab, kedangkalan kemampuan literasi adalah akar dari kebodohan. Akar dari kemunduran peradaban. Itulah sebabnya, UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan umat manusia.
Bisa jadi peran kita, hanya seperti buih dalam lautan kejayaan bangsa. Namun, sebagai sebuah upaya, sebagai sebuah ikhtiar bagi lahirnya bangsa yang melek literasi, iktiar ini perlu terus dihidupkan. Sebab, kita tidak pernah tahu masa depan bangsa ini. Kita hanya tahu bahwa Yang Maha Kuasa punya skenario terbaik bagi bangsa ini, dan kita punya tugas untuk mengambil peran lewat pengembangan literasi. Salam literasi.