Kungkungan

Sejatinya informasi tertulis disebarkan dengan cara yang berbeda setiap zamannya.

“Kang, saya lihat remaja sekarang sudah mulai tidak akrab dengan buku. Bisa-bisa industri buku akan tamat.” Kata seorang kawan baru setelah dia tahu saya begerak dalam dunia penerbitan

Pendapat teman saya itu membuat saya membatin: benarkah seperti itu? Jangan-jangan kawan baru itu memandang buku terlalu simpel: sekedar lembaran kertas? Mungkin dia lupa bahwa buku dicari bukan karena kertasnya, tetapi karena informasinya. Wujudnya boleh saja berubah, tapi esensinya bisa jadi sama.

Secara historis, sejatinya informasi tertulis disebarkan dengan cara yang berbeda setiap zamannya. Dahulu sebelum Guternberg menemukan mesin cetak, informasi ditulis dan disebarkan lewat kulit kayu, kulit binatang, papirus, lontar, dan sejenisnya. Dan tersebar dikalangan terbatas. Itulah sebabnya, informasi hanya milik kaum elite. Sekelompok orang dari kalangan bangsawan atau pemuka agama.

Nah setelah informasi dicetak dikertaslah, informasi tersebar lebih massal. Akses terhadap info begitu dahsyat. Lingkaran penguasa informasi menjadi tersebar lebih luas. Dan kosa kata buku pun mulai dikenal sebagai lembaran kertas. Adagium yang berkembang adalah orang yang cerdas adalah yang mengusai informasi. Dan mulai perpustakaan-perpustakan muncul, dengan deretan buku koleksinya. Dan saat itulah mulai lahir kaum terpelajar.

Kini, ketika digitalisasi begitu akrab dengan keseharian kita: apakah memang buku sebagai lembarah kertas (print-book) masih dibutuhkan? Bagi saya, setidaknya ada tiga faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, buku bagaimana pun adalah karya kebudayaan. Selama pendukungnya masih ada, eksistensi buku masih terjaga. Siapakah itu? Umumnya mereka yang terbiasa membaca buku sebagai lembaran kertas. Mereka menemukan keasyikan tersediri saat membaca print-book. Dan umumnya berusia diatas 30an tahun.

Kedua, masalah infrastuktur internet. Di Indonesia saya kira apa yang dinamakan 3G atau bahkan 4G adalah kosa kata yang baru akrab di kota-kota besar. Mereka menikmati kehebatan akses internet cepat itu. Saat sedikit saja bergeser ke kota kabupaten, atau keluar dari pusat kota, kemewahan akses internet cepat itu jangan harap bisa dinikmati. Itu artinya: membaca buku digital adalah kemewahan yang baru dalam tahap angan untuk warga Indonesia di pinggiran. Itulah sebabnya, Taman Bacaan Masyarakat yang memiliki koleksi buku cetak masih sangat dibutuhkan untuk warga masyarakat kategori ini.

Ketiga, masalah daya beli. Dunia digital bagaimanapun sangat akbar dengan generasi dibawah 30 tahun. Mereka dibesarkan di lingkungan digital. Bahkan mereka yang berusia dibawah 17 tahun, dunia digital sudah jadi bagian dari hidupnya. Sayangnya mereka belum punya daya beli. Keputusan membeli buku atau barang masih ditentukan generasi 30an tahun. Itulah sebabnya, harga buku digital yang laris adalah yang berharga murah, atau bahkan gratis.

Setidaknya ketiga alasan itu, dan mungkin masih bisa ditambah, buku digital belum berkembang sebagai industri. Data yang ada memperlihatkan, omzet penjualan buku digital di Indonesia masih dibawah 5% dari total omzet penjualan buku. Jadi rasa-rasanya, industri buku cetak masih belum mati. Namun, buku digital bagaimana pun sebuah potensi yang layak dicermati dan dirawat dengan tekun.

Mungkin benar sebuah pendapat, “Yang kita takutkan bukan tidak menemukan hal-hal baru, inovasi baru, atau karya baru. Yang perlu kita khawatirkan adalah kita terkungkung oleh pikiran lama.” Buku boleh saja berubah wujud: dari kertas ke digital. Namun, yang dicari orang bukan wujudnya, tapi esensinya. Itulah informasi. Salam literasi. (#catatanHK, ngacapruk enjing).

Tinggalkan komentar