Menanam

“Jangan membenci kegagalan. Jangan membenci kebodohan. Keduanya hadir untuk membuatmu tangguh”

“Mat, mulai 1 April 1993, kamu yang memimpin tim redaksi. Kamu menjadi wakil kepala editor. Kepala Editornya tetap saya. Namun, saya tidak bisa aktif setiap hari. Saya akan datang sekali-kali. Mulai tanggal itu saya akan berkantor di UNDP.” Kira-kira begitu ucapan Mas Eka Budianta. Dan itu terjadi saat saya baru bekerja selama 4 bulan sebagai editor buku.

Kejadian itu membuat saya tergagap-gagap. Kalau kata orang sunda, saya baru “lelengkah halu”. Saya baru belajar memahami dunia perbukuan sebagai sebuah industri. Betul saya sangat menyenangi buku. Betul saya pembaca buku yang baik. Penggemar buku sejarah, sastra, filsafat, sosial politik, sosial ekonomi, dan sebagiannya. Bagaimanapun buku yang saya baca banyak berkaitan dengan ilmu yang saya tekuni: ilmu sejarah. Namun, buku sebagai industri ternyata punya logikanya sendiri. Dan disinilah kegagapan saya. 

Sebagai penggemar buku, sejatinya saya menempatkan buku sebagai karya kebudayaan. Buku adalah artefak peradaban. Catatan atas berbagai peristiwa, respon penulis atas berbagai kejadian, dan jejak yang mencatat perkembangan ilmu pengetahuan. Buku adalah potret peradaban sebuah entitas kebudayaan. Dari buku kita belajar tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Mungkin itulah alasannya buku dianggap sebagai jendela dunia. 

Namun, sebagai ranah industri, buku berkaitan dengan kebutuhan pembaca, pola produksi, rantai distribusi, pengelolaan sumber daya manusia, dan manajemen usaha penerbitan. Dan untuk urusan semua urusan ini, derajat saya waktu itu “sekelas anak taman kanak-kanak”. Akibatnya, jelas sangat kurang baik. Banyak buku yang diterbitkan menumpuk di gudang. Tidak laku. Perusahaan pun merugi. Dan konflik antara redaksi dan pemasaran pun menguat. Dan ini jelas bikin panik, stres. Saya menjadi orang yang bersalah. 

Hikmahnya, saya kemudian banyak membaca segala buku tentang manajeman, marketing, produksi, keuangan, dan sejenisnya. Saya pun banyak bertanya, berdiskusi, dan menggali ilmu dari berbagai orang. Bahkan, saya mengikuti berbagai kursus, pelatihan, atau sejenisnya selepas urusan kerja. Menjadi murid dalam berbagai kelas malam. Dan ini mengubah pola pikir saya: kalau sebelumnya saya memilih buku atas keinginan saya, menjadi bergeser bagaimana buku disajikan untuk menyenangkan dan memenuhi keinginan pembaca. 

Mungkin benar kata seorang bijak, “Yang Maha Kuasa tidak menuntut kita untuk sukses, yang dituntut olehNya adalah berjuang tanpa henti.” Kita tidak disuruh panen. Kita disuruh menanam. Karena itu jangan pernah berhenti menanam. Jangan membenci kegagalan. Jangan membenci kebodohan. Keduanya hadir untuk membuatmu tangguh. Membuat hidupmu hebat. Tanpa kebodohan dan kegagalan, derajat ketangguhanmu tidak teruji. Tabik. #catatanHK, ngacapruk pagi.

Tinggalkan komentar