Mendaki Gunung Slamet saya usia saya mendekati 55 tahun, ternyata bukan perkara mudah. Setiap langkah kaki naik, dan juga turun rasanya sangat berat. Apalagi belakangan saya jarang naik gunung. Kalau pun naik gunung hanyalah gunung yang tanjakannnya tak terlalu terjal. Gunung terakhir saya daki adalah Gunung Tambora pada tahun 2018. Itupun setengah perjalanannya dibantu naik mobil Jeep.
Mungkin ceritanya berbeda saat saya sering mendaki berbagai gunung dibawah usia dua puluhan tahun. Saat itu mendaki gunung adalah bentuk kegembiraan bagi saya. Kegembiraaan yang banyak membentuk mental saya. Mental yang berguna saat saya menghadapi masa-masa sulit dalam menjalani kehidupan ini. Dan siapa saya sekarang ini, sedikit atau banyak terbentuk oleh kegemaraan itu.
Mungkin benar kata seorang bijak: bukan perkara keahlian, kepintaran, kecerdasan, atau fisik yang prima, untuk mencapai sebuah tujuan, apa pun tujuannya, seringkali mental lebih menentukan. Pada saat-saat kritis, seseorang yang punya mental tangguh akan selalu berusaha menemukan jalan mengatasasi persoalan. Dan disitulah mental kaum pemenang ditentukan.
Bagaimanapun mendaki gunung adalah ujian yang baik untuk melatih ketahanan mental. Dan saya mengujinya saat mendaki Gunung Slamet, sebagai atapnya Jawa Tengah pada tanggal 20-21 Agustus 2022 bersama teman-teman kantor. Gunung yang jalan pendakiannya membosankan, kurang punya pemandangan yang variatif, dan untuk mencapai puncaknya disambut dengan hamparan batu, kerikil, dan pasir. Gunung dengan ketinggian 3.428 mdpl sungguh bisa bikin mental jatuh.
#catatanHK, ngacapruk sehabis kelelahan mendaki.