Ilmu Sabar

Hidup ini harus pintar ngegas dan ngerem. Ada saatnya bergerak cepat, ada saatnya lambat.

Saya percaya Ilmu itu unik. Ia berkembang justru saat dialirkan. Saat kran dibawahnya dibuka, justru kran yang diatasnya mengalir. Semakin deras alirannya ke bawahnya, semakin deras aliran dari atasnya. Apalagi jika dialirkan dengan penuh keihlasan dan hati yang gembira. Airnya semakin lama semakin deras.

Beruntungkah orang-orang yang mau menjadi perantara ilmu bagi orang lain.  Inilah orang-orang yang meyakini bahwa bukan perkara seberapa banyak ilmu yang dimilikinya. Namun, seberapa cepat alirannya mengalir. Dengan cara seperti itu, tanpa disadarinya kapasitas keilmunya akan memperbesar sendiri. Itulah hukum semesta

Hebatnya lagi jika yang berilmu itu menyampaikanya dengan penuh kesabaran. Sebab, mereka sangat paham yang menerimanya begitu beragam daya tangkap dan pemahamannya. Ada yang cepat, ada yang sangat lambat. Ada yang tak paham-paham, walaupun sudah dijelaskan berulang-ulang. Seperti kata Rumi, “Para pecinta sabar sudah paham bahwa bulan butuh waktu untuk menjadi purnama.

Mungkin benar kata seorang budayawan: Hidup ini harus pintar ngegas dan ngerem. Ada saatnya bergerak cepat, ada saatnya lambat. Tidak mesti lebih cepat lebih baik. Lambat bisa jadi bikin selamat. Jadinya bukan perkara cepat atau lambat. Namun, perkara lebih tepat.

Bukan tentang secepat apa mall, pertokoan, atau tempat-tempat umum dibuka. Namun, perkara keselamatan menjadi lebih utama. Bukan tentang kecepatan yang jadi juara. Namun, melambat bisa jadi strategi yang bijaksana.

Dunia ini terlalu menyanjung bahwa cepat itu baik, dan lambat itu buruk. Padahal, seperti koin, kita perlu melihat kedua sisinya: ada keindahan saat lambat, ada di sisi bahaya dalam cepat.

Saat kita terlalu mendewakan kecepatan, maka kita akan gagal menjadi manusia yang sabar. Kita tidak terlatih untuk menjalani proses setahap demi setahap. Kita maunya mencapai target dengan instant, kurang detail, dan mengabaikan hal-hal kecil. Padahal, kerikil-lah yang menyebabkan kita tergelincir. Atau debu kecil-lah yang bikin kelilipan. Dan lewat virus super kecil Covid-19-lah dunia kelimpungan.  Salam sehat.  #ngacaprukHK, catatan pagi.

Menabur

“Kita ini harus berorientasi keluar. Berupaya menyelesaikan masalah orang lain. Jangan melalu berorientasi kedalam diri sendiri. Kalau kita mampu membantu menyelesaikan masalah orang lain, maka Insya Allah masalah kita akan selesai juga.” Begitu pesan seorang sahabat dalam obrolan pagi hari. Atas pesan itu saya jadi ingat tiga kelompok manusia. Pertama, Pemberi (giver). Kelompok manusia jenis … Baca Selengkapnya

Memberikan kebahagian

“Hidup ini bukan tentang apa yang kita terima, tetapi tentang apa yang kita berikan.”   “Foto saja dulu, nggak usah mikiran yang lain. Upload saja dulu, nggak usah mikirin bayaran”. Mungkin inilah prinsip @tukangfotopengkolan.  Tak banyak mikir, tetapi banyak berbuat. Dipilihnya  tempat-tempat yang strategis. Dihasilkanlah karya foto terbaik. Menjepret para pesepeda yang melintas.  Foto yang … Baca Selengkapnya

Menanam

“Jangan membenci kegagalan. Jangan membenci kebodohan. Keduanya hadir untuk membuatmu tangguh” “Mat, mulai 1 April 1993, kamu yang memimpin tim redaksi. Kamu menjadi wakil kepala editor. Kepala Editornya tetap saya. Namun, saya tidak bisa aktif setiap hari. Saya akan datang sekali-kali. Mulai tanggal itu saya akan berkantor di UNDP.” Kira-kira begitu ucapan Mas Eka Budianta. Dan … Baca Selengkapnya